Sejarah pendirian Pura Samuantiga yang bersumber dari data
tertulis seperti halnya prasasti prakempa, purana ataupun babad sampai saat ini
belum banyak diketemukan. Minimnya sumber tertulis yang khususnya menguraikan
tentang keberadaan Pura Samuantiga.
Sebagai
tonggak awal ada baiknya kita simak sejenak isi lontar Tatwa Siwa Purana,
Semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka, membangun pura antara lain :
Penataran Sasih, Samuantiga, tari-tarian di saat upacara, nampiyog nganten,
siyat sampian, sanghyang jaran menginjak bara, mapalengkungan perang payung
(pajeng) pendet dan ada balai pegat penghapus ketidak sucian (leteh)".
Dari
uraian lontar Tatwa Siwa Purana di atas disebutkan bahwa pura Samuantiga
dibangun pada masa pemerintahan raja Candrasangka. Candrasangka seperti
disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja
Candrasangka Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya yang berangka
tahun 962 masehi, maka dapatlah dikatakan bahwa pura Samuantiga dibangun
sejaman dengan pura Tirta Empul yaitu sekitar abad X. Pembangunan pura
Samuantiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada
masa Bali Kuna, setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura
Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara/laut. Pura Tirta Empul sebagai pura
Gunungnya dan pura Samuantiga sebagai pura Penataran yaitu pura yang berada di
pusat kerajaan. Seperti disebutkan dalam Negarakertagama bahwa pusat
pemerintahan Bali berada di Badahulu dekat Lwah Gajah.
Samuatiga
secara etimologi. Kata Samuantiga terdiri dari perpaduan kata
"Samuan" dan "Tiga". Samuan berasal dari kata Samua berarti
pertemuan penyatuan, sangkep dan Tiga berarti atau menunjuk pada bilangan tiga.
Dengan demikian Samuantiga berarti pertemuan atau penyatuan tiga hal atau
musyawarah segitiga. Dalam lontar Kutaca Kanda Dewa Purana Bangsul, disebutkan
pada masa itu ada lagi kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan
Samuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata,
Bhatara-Bhatari dan lagi para Rsi (Pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada
masa itu dinamai pura Samuantiga sampai sekarang.
Pemberian
nama Samuantiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting (ika maka cihna
mwah genah) yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem
pemerintahan pada masa Bali Kuna.
Pelaksanaan
musyawarah tokoh-tokoh setitiga diperkirakan berlangsung pada masa pemerintahan
raja suami istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni
yang memerintah sekitar tahun 989 - 1011 masehi. Dalam Babad Pasek disebutkan,
saat bertahtanya Cri Gunapriyadbarmapatni dan suaminya Udayana Warmadewa, ada
musyawarah besar Çiwa Budha dan Bali Aga itulah asal mulanya (sebabnya) ada
desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dan masing-masing
desa Bali Aga.
Pura
Samuantiga merupakan tempat pertemuan dan musyawarah tokoh- tokoh agama pada
masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana yang berhasil memutuskan
suatu kemufakatan untuk penerapan konsepsi Tiri Murti melalui terbentuknya desa
Pekraman dengan Kahyangan Tiganya. Suksesnya pelaksanaan musyawarab tokoh-tokoh
agama yang berhasil menyepakati suatu keputusan yang bersifat monumental bagi
perkembangan agama Hindu di Bali, secara tradisional diyakini tidak terlepas
dari peranan penting tokoh legendaris Mpu Kuturan sebagai senopati dan pemimpin
lembaga majelis pemerintahan pusat yang diberi nama Pakira-kiran ijro
Makabehan. Pelaksanaan musyawarah besar tersebut mungkin karena adanya suatu
kondisi sosial keagamaan yang perlu segera ditangani agar tercapainya
ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
Pada
masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian.
Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte
Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan
Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang
sangat dominan. Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai
istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta
berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya
dianggap lebih rendah.
Berkembangnya
keyakinan yang bersifat sektarian berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik
dalam kehidupan sosial keagamaan dan akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap
stabilitas suatu negara. Menyadari keadaan yang kurang stabil akibat
berkembangnya berbagai sekte, maka raja suami istri Gunapriyadharmapatni dan
Udayana berusaha untuk mengatasinya melalui musyawarah dan mendatangkan
beberapa tokoh rohaniawan baik dari Bali maupun Jawa Timur.
Karena
Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardana dari Jawa Timur,
maka beliau sangat mengenal Tokoh-tokoh rohaniawan dari Jawa Timur yang
diperkirakan dapat mencarikan jalan keluar dalam menghadapi berbagai gejolak.
Pada waktu itu di Jawa Timur terkenal ada 5 Pendeta bersaudara yang sering
dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Kelima Pendeta bersaudara itu ialah :
Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Baradah, Empat di
antara kelima Pendeta itu didatangkan ke Bali. Mpu Semeru datang di Bali pada
tahun saka 921 (999m) berparhyangan di Besakih. Mpu Ghana datang pada tahun
saka 922 (1000) beparhyangan di Gelgel. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923
(1001) berparhyangan di Cilayuti Padangbai. Kemudian Mpu Gnijaya datang pada
tahun saka 928 (1006) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Blibis).
Mengingat
pengalaman Mpu Katuran yang pernah menjadi Kepala Pemerintahan di Girah dengan
sebutan Nateng Dirah, maka diangkatlah Beliau sebagai Senopati dan sebagai
Ketua Majelis Pakira-kiran ijro Makabehan oleh Gunapriyadharmapatni. Melalui
posisi yang dipegang itulah Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte
keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran yang kemudian
untuk memperingati peristiwa besar tersebut puranya diberi nama Samuantiga.
Sejak itulah kemungkinan nama pura Samuantiga tetap terpakai seperti disebutkan
dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul.
Kedatangan
Mpu Kuturan ke Bali menjadi tonggak pemersatu sekte-sekte Hindu yang pernah
berkembang. Untuk menyatukan semua sekte Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri
Murti. Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan
dalam pola Desa Pekraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiganya untuk sebuah
desa. Bagi setiap keluarga diterapkan pembangunan Sanggar Kemulan Rong Tiga
dengan didukung berbagai pedoman kehidupan keagamaan lainnya.
Pendirian
pura ini pada awalnya adalah sebagai pura Penataran masa Bali Kuna, kemudian
dijadikan tempat perternuan tokoh-tokoh agama khususnya Ciwa Budba dan Bali Aga
yang berhasil menyepakati penerapan konsep Tri Murti dalam kehidupan Desa
Pekraman dan rumah tangga di Bali. Secara sosial hal ini sebagai media
pemersatu bagi seluruh umat yang berlandaskan rasa kebersamaan dan bhakti
sehingga terwujudlah kesukertaan di masing-masing Desa. Sehingga dapatlah
dikatakan bahwa pura Samuantiga merupakan cikal bakal dari adanya Desa Pekraman
dan Kahyangan Tiga sebagai penerapan konsep Tri Murti di Bali.
Masyarakt
pengemong terdiridari 6 Desa Adat atau 12 Banjar, namun sebagai penyungsung
terdiri dari seluruh umat Hindu dimanapun mereka berada Hal ini karena pura
Samuautiga seperti disebutkan di atas sebagai pura Kahyangan Jagat yaitu
sebagai cikal bakalnya Pura Kahyangan Tiga di setiap Desa pekraman dan
pemerajan di setiap keluarga sebagai tempat memuja Dewa Tri Murti manifestasi
dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Siat sampian
Pura
Samuan Tiga di Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, punya tradisi menghelar siat
sampian (perang sampian). Atraksi bernuansa magis itu selalu digelar saat
piodalan. Ratusan warga berpakian adat putih-putih saling memukulkan sampian
dari bahan janur. Para penari laki disebut sebagai parekan (abdi) dan penari
wanita dinamakan permas. Namun, permas umumnya orang yang sudah berusia uzur.
Mereka mengenakan kampuh (kain) warna hitam dan setelan baju warna putih.
Jumlah penari siat sampian bisa 350 sampai 450 orang.
Ketua
Paruman Pura Samuan Tiga, Wayan Patera menyebutkan kepada Koran ini
menjelaskan, penari yang terlibat disini tidak ditentukan. Mereka menari
sukarena berdasar keyakinannya. "Tidak ada proses pemilihan penari,"
kata Patera yang juga Prebekel Bedulu. Menariknya, penari siat sampian
kebanyakan warga yang sebelumnya mendapatkan berbagai cobaan hidup, misalnya
sakit lama. Saat itulah mereka berkaul untuk menari sampian bila bisa sembuh.
Ngambeng Ke Rumah-Rumah
Puluhan
bocah sejak pagi terlihat di jalan-jalan di lingkungan desa Bedulu, Blahbatuh,
Gianyar. Bahkan, mereka terlihat memasuki rumah-rumah penduduk. Mereka memasuki
rumah penduduk untuk meminta pelbagai hasil bumi untuk kegiatan Upacara agama
atau Odalan di Pura Samuan Tiga. Dan kegiatan ini memang tergolong unik, karena
sangatlah jarang menjelang odalan di Pura, anak -anak masuk rumah beramai
-ramai untuk meminta pemilik rumah menyerahkan sejumlah hasil bumi yang
dimiliki.
Seperti
yang dijelaskan oleh, I Wayan Patra, Ketua Paruman Pura Samuan Tiga mengatakan,
kegiatan ini sudah dilakukan sejak berdirinya Pura Samuan Tiga di abad ke X ,
dan tradisi ini dilakukan secara turun -temurun di Desa Pekraman Bedulu,
Blahbatuh, Gianyar.
Menurut
kepercayaan penduduk setempat anak-anak tersebut dianggap lugu, dan perawan.
Dan anak-anak yang rata-rata berumur 8-13 tahun tersebut dianggap sebagai
simbolis Dewa yang memberikan piteket ( tanda) kepada penduduk bahwa odalan
bakal tiba, dan penduduk diharapkan untuk bersiap sedia menyambut odalan.
"Tradisi
ngambeng ( mempertajam) atau piteket ini merupakan tradisi turun temurun di
wilayah kami menjelang piodalan di Pura Samuan Tiga," jelasnya.
Mereka
melakukannya dengan spontan pada saat 15 hari sebelum odalan dimulai, dan hal
ini dilakukan selama 1 Minggu, setelah mereka mendapatkan hasil bumi dan
diserahkan kepada pengurus Pura, mereka mendapatkan ganti ( pica) berupa
makanan untukdibawa pulang.
Sejarah Singkat Pura
Sejarah
pendirian Pura Samuantiga yang bersumber dari data tertulis seperti halnya
prasasti prakempa, purana ataupun babad sampai saat ini belum banyak
diketemukan. Minimnya sumber tertulis yang khususnya menguraikan tentang
keberadaan Pura Samuantiga mungkin disebabkan berbagai faktor antara lain
panjangnya perjalanan waktu yang telah dilewati sehingga sangat memungkinkan
adanya data- data yang hilang. Disamping itu tradisi penulisan segala sesuatu
berkaitan dengan keberadaan suatu peristiwa atau pura belum membudaya dimasa
lalu. Maka tidaklah berlebihan bila dalam menelusuri kembali sejarah pura
Samuantiga berbagai sumber data penunjangnya sekecil apapun serta walaupun
bersifat fragmentaris masih relevan untuk dikaji.
Sebagai
tonggak awal ada baiknya kita simak sejenak isi lontar Tatwa Siwa Purana,
khususnya lembar 11 yang berkaitan dengan penyebutan pura Samuantiga antara
lain disebutkan :
".......... Samalih sapamadeg idane prabu
Candrasangka, mangwangun pura saluwire : Penataran Sasih, Samuantiga,
hilen-hilen rikala aci, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran
nglamuk beha, mapalengkungan siyat pajeng, pendet, hane bale pgat, pgat
leteh".
>> Terjemahan bebasnya:
"..........
Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka, membangun pura antara
lain : Penataran Sasih, Samuantiga, tari-tarian di saat upacara, nampiyog
nganten, siyat sampian, sanghyang jaran menginjak bara, mapalengkungan perang
payung (pajeng) pendet dan ada balai pegat penghapus ketidak sucian
(leteh)".
Dari
uraian lontar Tatwa Siwa Purana di atas disebutkan bahwa pura Samuantiga /
Samuantiga dibangun pada masa pemerintahan raja Candrasangka, Penulisan Lontar
Tatwa Siwa Purana dan lontar-lontar lainnya ini mungkin sebagai upaya penulisan
kembali berbagai tradisi kepercayaan sejarah lokal dan hal-hal lainnya.
Kemungkinan itu sangat besar karena bila kita telusuri dari kronologi
pemerintahan raja-raja di Bali, tidak ada raja yang bernama Candrasangka namun
yang ada adalah Candrabhayasingha Warmadewa disebutkan dalam prasastinya yang
sekarang tersimpan di pura Sakenan Manukaya Tampaksiring, berisi tentang
pembuatan telaga/pemandian suci yang disebut Tirta
di Air Hampul (Sutterheim,1929: 68-69).
Bila
mana prabu Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama
atau nama lain dari raja Candrasangka Warmadewa seperti disebutkan dalam
prasasti Manukaya yang berangka tahun 962 masehi, maka dapatlah dikatakan bahwa
pura Samuantiga dibangun sejaman dengan pura Tirta Empul yaitu sekitar abad X.
Pembangunan pura Samuantiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi
keagamaan pada masa Bali Kuna, seperti dikatakan R. Goris dimana setiap
kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Penataran dan
Pura Segara/laut. Pura Tirta Empul sebagai pura Gunungnya dan pura Samuantiga
sebagai pura Penataran yaitu pura yang berada di pusat kerajaan. Seperti
dimaklumi para ahli memperkirakan pusat pemerintahan pada masa Bali Kuna
berada. di sekitar Desa Bedulu karena banyak diketemukan tinggalan arkeologi
(arca-arca, tempat pertapaan) bahkan berlangsung sampai masa Majapahit seperti
disebutkan dalam Negarakertagama bahwa pusat pemerintahan Bali berada di
Badahulu dekat Lwah Gajah. Sehingga
tidaklah berlebihan bila diasumsikan bahwa pura Samuantiga pada abad X
merupakan pura Penataran dan kerajaan Bali Kuna yang berlokasi di pusat
pemerintahan yang dalam beberapa sumber lokal disebut Bata Anyar.
Dari
uraian lontar Tatwa Siwa Purana tersebut akan memunculkan pertanyaan, apakah
nama Samuantiga itu merupakan nama dari sejak berdirinya ?. Hal ini penting
sekali karena pemberian nama pada suatu hal menurut tradisi masyarakat Bali
biasanya dihubungkan dengan tujuan tertentu atau untuk memperingati suatu
peristiwa yang sangat bermakna dalam suatu proses kebidupan. Untuk menjawabnya
perlu disimak sejenak makna kata Samuatiga secara etimologi. Kata Samuantiga
terdiri dari perpaduan kata "Samuan" dan "Tiga". Samuan
berasal dari kata Samua berarti pertemuan penyatuan, sangkep dan Tiga berarti
atau menunjuk pada bilangan tiga. Dengan demikian Samuantiga berarti
pertemuan/penyatuan dari tiga hal atau musyawarah segitiga (Soebandi 1983 : 62).
Untuk
lebih jelasnya ada baiknya kita simak isi lontar Kutaca Kanda Dewa Purana
Bangsul, terutama pada bagian yang menguraikan tentang Samuantiga sebagai
berikut:
"........... Ri masa ika hana malih hakyangan kang
maka ngaran kahyangan Samuantiga, ika maka cihna mwah genah ira kang para
Dewa-Dewata Bhatara-Bhatari mwah kang para Resi ika makabehan paum duking masa
ika, kang ingaranan pura Samuantiga ri mangke".
>> Terjemahannya:
..........
pada masa itu ada lagi kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan
Sarnuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata,
Bhatara-Bhatari dan lagi para Rsi (Pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada
masa itu dinamai pura Sarnuantiga sampai sekarang".
Dari
uraian lontar di atas, menunjukkan bahwa pemberian. nama Sarnuantiga terkait
dengan adanya suatu peristiwa penting (ika maka cihna mwah genah) yaitu adanya
musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali
Kuna. Pelakaanaan musyawarah tokoh-tokoh setitiga diperkirakan berlangsung pada
masa pemerintahan raja suami istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya
Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 - 1011 masehi. Hal
tersebut antara lain diseebutkan dalam Babad Pasek sebagai beikut:
".........nguni duk pamadegan Cri Gunapriyadharmapatni
Udayana Warmadewa, hana pasamuan agung Çiwa Budha kalawan Bali Aga, ya hetunya
hana desa pakraman mwang kahyangan tiga maka kraman ikang desa para desa Bali
Aga". ~
>> Terjemahannya:
.........dahulu
kala pada saat bertahtanya Cri Gunapriyadbarmapatni dan suaminya Udayana
Warmadewa, ada musyawarah besar Çiwa Budha dan Bali Aga itulah asal mulanya
(sebabnya) ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dan
masing-masing desa Bali Aga (Ardana, 1989: 11).
Dari
uraian kedua lontar di atas menunjukkan babwa pura Samuantiga merupakan tempat
pertemuan dan musyawarah tokoh- tokoh agama pada masa pemerintahan
Gunapriyadharmapatni dan Udayana yang berhasil memutuskan suatu kemufakatan
untuk penerapan konsepsi Tiri Murti melalui terbentuknya desa Pekraman dengan
Kahyangan Tiganya.
Suksesnya
pelaksanaan musyawarab tokoh-tokoh agama yang berhasil menyepakati suatu
keputusan yang bersifat monumental bagi perkembangan agama Hindu di Bali,
secara tradisional diyakini tidak terlepas dari peranan penting tokoh
legendaris Mpu Kuturan sebagai senopati dan pemimpin lembaga majelis
pemerintahan pusat yang diberi nama Pakira-kiran ijro Makabehan. Pelaksanaan
musyawarah besar tersebut mungkin karena adanya suatu kondisi sosial keagamaan
yang perlu segera ditangani agar tercapainya ketentraman dalam kehidupan
masyarakat.
Seperti
disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan
keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang
pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta,
Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte
tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56).
Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau
sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa
istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.
Berkembangnya
keyakinan yang bersifat sektarian berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik
dalam kehidupan sosial keagamaan dan akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap
stabilitas suatu negara. Menyadari keadaan yang kurang stabil akibat
berkembangnya berbagai sekte, maka raja suami istri Gunapriyadharmapatni dan
Udayana berusaha untuk mengatasinya melalui musyawarah dan mendatangkan
beberapa tokoh rohaniawan baik dari Bali maupun Jawa Timur.
Karena
Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardana dari Jawa Timur,
maka beliau sangat mengenal Tokoh-tokoh rohaniawan dari Jawa Timur yang
diperkirakan dapat mencarikan jalan keluar dalam menghadapi berbagai gejolak.
Pada
waktu itu di Jawa Timur terkenal ada 5 Pendeta bersaudara yang sering dijuluki "Panca Pandita" atau Panca Tirta.
Kelima Pendeta bersaudara itu ialah :
Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan
Mpu Baradah, Empat di antara kelima Pendeta itu didatangkan ke Bali
secara berturut-turut yaitu:
- Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999m) berparhyangan di Besakih.
- Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000) beparhyangan di Gelgel.
- Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001) berparhyangan di Cilayuti Padangbai.
Kemudian
Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Blibis) (Soeka, 1986 :5).
Mengingat
pengalaman Mpu Katuran yang pernah menjadi Kepala Pemerintahan di Girah dengan
sebutan Nateng Dirah, maka diangkatlah Beliau sebagai Senopati dan sebagai
Ketua Majelis Pakira-kiran ijro Makabehan
oleh Gunapriyadharmapatni. Melalui posisi yang dipegang itulah Mpu Kuturan
melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat
di Pura Penataran yang kemudian untuk memperingati peristiwa besar tersebut
puranya diberi nama Samuantiga. Sejak itulah kemungkinan nama pura Samuantiga
tetap terpakai seperti disebutkan dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul
di atas.
Kedatangan
Mpu Kuturan ke Bali menjadi tonggak pemersatu sekte-sekte Hindu yang pernah
berkembang dan didominasi oleb sekte Siwa Sidhanta. Untuk menyatukan semua
sekte Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti yang di Jawa dimanifestasikan
dalam bentuk Candi seperti Candi Loro Jonggrang (Prambanan) dimana melalui
Candi tersebut di puja Dewa Brahma, Wisnu dan Çiwa dengan bangunan candi
tersendiri.
Konsep
Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola
Desa Pekraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiganya untuk sebuah desa. Bagi
setiap keluarga diterapkan pembangunan Sanggar Kemulan Rong Tiga dengan
didukung berbagai pedoman kehidupan keagamaan lainnya. Mpu Kuturan disamping
ahli dalam Rajaniti (hukum pemerintahan) Beliau Juga sebagai tokoh yang
sempurna dalam falsafah keagamaan sebagai arsitektur agung yang berlandaskan
ajaran agama terutama dalam penataan pura-pura di Bali) termasuk Besakih. Di
dalam lontar Raja Purana tertera ajaran Mpu Kuturan dalam penataan kehidupan
keagamaan sebagai berikut:
........ Ngararis nangun catur agama, catur lokita
bhasa, catur sila makadi ngawangun sanggah kamulan) ngawangun Kahyangan Tiga:
Pura Dalem, Puseh mwang Bale Agung,
>> Terjemahannya:
........
Selanjutnya (Mpu Kuturan) menerapkan empat peraturan agama, empat cara
berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan, termasuk membuat Sanggah
Kemulan, Kahyangan Tiga : Pura Dalem, Puseh dan Bale Agung (Nala, 1997:3-6).
Dan
uraian singkat di atas dapatlah disimpulkan bahwa pura Samuantiga yang kita
kenal sekarang ini telah mengalami proses sejarah yang cukup panjang dan
pengembangan struktur pura sesuai dengan tuntutan jaman. Pendirian pura ini
pada awalnya adalah sebagai pura Penataran masa Bali Kuna, kemudian dijadikan
tempat perternuan tokoh-tokoh agama khususnya Ciwa Budba dan Bali Aga yang
berhasil menyepakati penerapan konsep Tri Murti dalam kehidupan Desa Pekraman
dan rumah tangga di Bali. Secara sosial hal ini sebagai media pemersatu bagi
seluruh umat yang berlandaskan rasa kebersamaan dan bhakti sehingga terwujudlah
kesukertaan di masing-masing Desa. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pura
Samuantiga merupakan cikal bakal dari adanya Desa Pekraman dan Kahyangan Tiga
sebagai penerapan konsep Tri Murti di Bali.
Di
samping makna sejarah seperti di uraikan di atas kata Samuantiga dapat pula
ditelusuri melalui makna filosofinya yang juga berarti bahwa sejak adanya
musyawarah tersebut terjadi peningkatan kwalitas kehidupan beragama khususnya
dalam hal pemahaman filsafah agamanya.
Dari
pemujaan pada istadewata yang berdiri sendiri menuju pada pemujaan Tuhan /lda
Sanghyang Widhi melalui ketiga aspeknya yaitu Tri Murti sebagai satu kesatuan
yang tebih dikenal sebagai bersifat eka-aneka, Hal ini merupakan proses,
rekonsiliasi atau revitalisasi dalam kehidupan keagamaan Hindu di Bali.
Penyempurnaan
kehidupan beragama di Bali memang senantiasa terus tumbuh berkembang, namun
senantiasa dilaksanakan secara damai dan musyawarah dengan kedatangan berbagai
tokoh agama seperti Mpu Lutuk, Danghyang Nirarta dan lain-lainnya.
Beliau-beliau
inilah melakukan penataan kembali secara bertahap dan bersifat akomodatif yang
berarti tidak mengabaikan tradisi yang sudah tumbuh dan berkembang secara baik,
Peristiwa dan tokoh-tokoh agama yang telah berhasil menata kehidupan keagamaan
di Bali sepatutnya dijadikan contoh dan suri tauladan dalam kehidupan keagamaan
sekarang ini sehingga dapat terciptanya konsolidasi yang mantap dalam kehidupan
masyarakat (Ida Pedanda Putra Kemennh. 1977: 8-9). Keberadaan pura Samuantiga
terus tumbuh dan berkembang dengan segala pasang surutnya sesuai dengan
perkembangan kehidupan sosial budaya umat Hindu di Bali. Setelah Bali memasuki
kehidupan dalam sistim kerajaan keberadaan pura Samuantiga menjadi
tanggungjawab raja-raja Bali melalui pengenaan pajak tiga sana atau sawinih
kepada seluruh petani atau umat Hindu di Bali. Menurut informasi Gusti Agung
Gede Putra (almarhum) kerajaan Mengwi pada sekitar tahun 1817 pernah
melaksanakan upacara besar di pura Samuantiga.
Pada
masa selanjutya, sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat keberadaan
pura Samuantiga menjadi tanggung iawab Raja Gianyar. Namun suatu hal tanggung
jawab tersebut kemudian dilimpahkan kepada keluarga Pemangku untuk memelihara
dan melaksanakan upacara di pura Samuantiga melalui hasil laba pura. Karena
hasil laba pura tidak memadai, tanggung jawab tersebut kemudian diserahkan
kepada masyarakat sekitar tahun 1963 yang kemudian dibentuk kepanitian di bawah
pimpinan I Wayan Limbak. Masyarakt pengemong terdiridari 6 Desa Adat atau 12
Banjar, namun sebagai penyungsung terdiri dari seluruh umat Hindu dimanapun
mereka berada Hal ini karena pura Samuautiga seperti disebutkan di atas sebagai
pura Kahyangan Jagat yaitu sebagai cikal bakalnya Pura Kahyangan Tiga di setiap
Desa pekraman dan pemerajan di setiap keluarga sebagai tempat memuja Dewa Tri
Murti manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar