Khayangan Tiga Ardana

 BAB I
PENDAHULUAN

Pulau Bali sering dijuluki dengan berbagai nama oleh Wisatawan, diantaranya disebut “Bali The Island Of One Thousand Temple” artinya Bali adalah pulau dengan ribuan pura. Kadangkala disebut pula dengan nama Pulau Dewata atau The Island Of God dan beberapa julukan lain yang menarik. Dalam kenyataan memang terlihat banyak pura di Bali dan tersebar di seluruh daerah Bali. Menurut keadaan tahun 1979 tercatat jumlah pura di Bali 5.259 buah yang terdiri dan 9 buah Kahyangan jagat Bali, Dang Kahyangan 714 buah, Kahyangan Tiga 4.368 buah. Jumlah tersebut tidak termasuk tempat suci pemujaan roh suci leluhur yang disebut Pura Kawitan atau Padadyan.

Adanya banyak pura di Bali bukanlah berarti umat Hindu di Indonesia menganut kepercayaan politheistik, melainkan tetap monotheistik karena yang diutamakan di Pura itu adalah prabhawanya Hyang Widhi sesuai dengan fungsinya.

Kata pura adalah berasal dari kata Sanskerta yang berarti kota atau benteng artinya tempat yang dibuat khusus dengan dipagari tembok untuk mengadakan kontak dengan kekuatan suci. Tempat khusus ini di Bali disebut dengan nama pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya dan roh suci Ieluhur.

Berdasarkan bukti-bukti prasasti yang diketemukan di Bali, kata pura untuk menamai tempat suci belum diketemukan pada zaman Bali Kuno. Pada prasasti Turunyan Al tahun 891 M disebutkan Sanghyang Turunhyang artinya tempat suci di Turunyan. Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehena disebutkan pujaan kepada Hyang Karimana, Hyang Api, dan Hyang Tanda. Artinya tempat suci untuk Dewa Kanimana, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda. Dan penjelasan prasasti tersebut diketahui bahwa pada zaman Bali Kuno yang berlangsung dan kurun waktu tahun 800 - 1343 M dipakai kata Hyang untuk menyebut tempat suci di Bali.

Pada zaman Bali Kuno dalam arti sebelum kedatangan Sri Kresna Kepakisan di Bali, istana raja disebut Kedaton atau Keraton. Sedangkan pada masa pemenntahan Sri Kresna Kepakisan terlihat sebutan istana raja bukan lagi disebut kedaton melainkan disebut pura seperti keraton dalem di Gelgel Suweca pura dan keratonnya di KIungkung disebut Smarapura. Rupa-rupanya menggunakan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti dalem berkeraton di Klungkung, di samping istilah Kahyangan masih dipakai.

Kendatipun sebagai tempat pemupan Hyang Widhi, tidaklah merupakan tempat yang permanen dan kekuatan suci, tetapi lebih bersifat sebagai persimpangan atau tempat tinggal sementara, dimana pada waktu han ulang tahun pura, kekuatan suciakan datang menempati palinggih-palinggih yang sudah disediakan di lalam suatu pura. Kctika inilah diadakan kontak antara anggota masyarakat pengemongnya dengan kekuatan suci yang baru turun. Sebagai media mcnurunkan kekuatan suci tadi ialah pedanda atau pendeta dengan wedanya, selain berbagai-bagai jenis tarian dan upacara sebagai penyambutan turunnya kekuatan suci.

Sebagai tempat yang abadi dan para Dewa dan roh suci leluhur adalah di gunung, dalam hal mi gunung Maha meru dan kalau di Bali adalah Gunung Agung. Akhimya timbul anggapan, gunung sebagai alam arwah dan juga sebagai alam para dewa. Anggapan akan adanya gunung suci dalam agama Hindu dapat disaksikan pada cerita-ccrita kuna yang dikaitkan dengan gunung seperti centra pemutaran gunung Mandara di Ksirarnawa yang bertujuan untuk mencari amerta atau air kehidupan. Ceritera yang kedua ialah ceritera Tantu Panggelaran yang mengisahkan pemindahan puncak Gunung mandara ke Jawadwipa yang ketika itu masih dalam keadaan belum stabil.

Kepercayaan gunung sebagaialam arwah telah ada ;auh sebelum pengaruh Hindu datang ke ln&nesia, yaitu pada zaman bercocok tanam dan perundagian. Hal dibuktikan dengan diketcmukannya tempat pemujaan arwah leluhur yang berbentuk punden berundakundak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dan gunung, karena gunung pada masa itu dianggap sebagai alam arwah.
Ketika upacara sedang berlangsung umat akan merasa kehadiran yang mahasuci dan menimbulkan rasa sebagai kedatangan tamu suci yangdimuliakan. Timbullab rasa untuk membenkan pengebaktian atau penghormatan setinggi-tingginya, guna mendapatkan anugrahNya, berupa kesejahteraan, perlindungan dan kebahagiaan hidupnya. Hal mi merupakan sumber yang menggetarkan Jlwanya dan akhirnya menjadi sumberbangkitnya rasa aesthetika dan UTflt. Sebagai akibat rasa aesthe— tis lalu diikuti dengan ciptaan-ciptaan seninya dalam berbagai-bagai bentuk seperti seni tan, tabuh, pahat, lukis dan lain-laitmya.

Demikianlah kelihatan hubungan yang erat antara kebudayaan dan agama, tidak dapat dipisahkan satu dengar yang lainnya, dan mi akhirnya dapatdilihatdi pura-pura terutama pada piodalan yang penuh dengan hiasan yang serba indah dan cemerlang. Di sinilah terlihat dengan jelas bahwa perkembangan seni di Bali mencan akarnya pada agama.

Dan sekian banyak pura yang tersebar di daerah Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi dan para roh suci leluhur dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya dan karakter sebagai berikut:
  1. Pura yang fungsinya sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi dan para Dewa seperti Pura Kahyangan Tiga dan Pura Kahyangan Jagat.
  2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja roh suci seperti Paibon atau Dadia, Padharman.

Pengelompokan berdasarkan ciri, yang antara lain diketahui atas dasar penyiwi atau kelompok masyarakat pemuja. Penyiwi terkelompok di dalarn berbagai jenis ikatan seperti : ikatan sosial, ekonomis, genealogis (garis keturunan), Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan pengakuan jasa seorang guru suci (Dang Guru). Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem rnata pencaharman seperti bertaru, berdagang, nelayan dan lain-lainnya. Ikatan eneologis adalah atas dasar garis kelahiran
 Berdasarkan atas ciri-ciri tersebut di atas maka terdapat beberapa kelompok pura di Bali sebagai berikut:
  1. Pura Umum.
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hydng Widhi dengan segala prabawanya (Dewa). Pura yang tergolong umum mi dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat Bali. Pura-pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah Pura Besakih, Pura Batur dan Pura Sad Kahyangan Iainnya.

Pura lainnya, yang tergolong pura umum adalah pura yang fungsmnya sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran atau jasa guru suci atau DangGuru.T’ura inidipujaoleh seluruh umatHinduyang merasa berhutang jasa kepada Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang telah diberikan. Pura-pura yang tergolong ke dalam karakteryangdisebut Dang Kahyangan seperti : Pura Purancak, Pura Rambutsiwi, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Silayukti, Pura Kentelgumi dan lain-lainnya. Pura-pura tersebut di atas berkaitan dengan Dharma Yatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha dan Empu Kuturan karena peranannya sebagai Dang Guru.

Pura-pura lain yang tergolong umurn juga yaitu pura yang dihubungkan dengan pura tempat pemuaan dan kerajaan yang pernah ada di Bali seperti Pura Taman Ayun, yang merupakan Pura Kerajaan Mengwi, Pura Dasar Gelgel merupakan pura Kerajaan Gelgel dan lainlainnya.

  1. Pura Teritorial.
Pura mi mempunyai ciri kesatuan wilayah sebagai tempat pemujaan suatu desa adat. Cm khas suatu desa adat pada dasarnya memiliki tiga buah pura yang disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Nama-nama Kahyangan Tiga nampaknya juga bervariasi seperti pada beberapa desa di Bait; T>u?a Desa sering disebut Pura Bale Agung, Pura Puseh sering disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh desa Besakih disebut Pura Banua.

  1. Pura Fungsional
Pura mi mempunyai karakter fungsional karena urnat penyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan seperti : mempunyai profesi yang sarna dalam sistem mata pencaharian hidup SePerti : bertani, berdagang, nelayan. Karena bertani dalam mengolah tanah tidak dapat dipisahkan dengan air, maka mereka mempunyai ikatan yang disebut Pura bmpelan atau Pura Ulunsuwi atau Pura Subak.

Demikian pula berdagang merupakan satu sistem mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam suatu pasar yang dipua oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

  1. Pura Kawitan.
Pura im mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau asal leluhur berdasarkan garis kelahiran (geneologis). Suatu keluarga inti (ayah ibu dan anak-anak) dalam istilah anthropologi disebut keluarga batih mempunyai tempat pemujaan yang disebut .Sanggah atau Pamrajan.

Kemudian apabila keluarga itu telah bertambah banyak jumlahnya dan sudah ada yang keluar dan rumah asal, maka tempat pemuaan keluarga luas tersebut disebut Sanggah Gede atau Pamrajan Agung. Selanjtitnya pada tingkat yang lebih luas yaitu pada tingkat kien mempunyai tempat pemujaan yang disebut pura Dadia, sehingga mereka disebut tunggal dadia. Apabila kien itu mcmbesar lagi sehingga mencakuplagat Bali, rnaka mereka mempunyai tempat pemujaanyangdisebut Padharman, biasanya terdapat di Pura Besakkh, seperti Padharman Dalem, Padharman Arya Dauh, Padharman Arya Kepakisan dan lainla lnnya.

Pemujaan roh sun leluhur di Bali bukannya pengaruh dan India, tetapi tclah ada jauh sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia.

Konsepsi keagamaan adalah unsur ash Indonesia/Bali yang berkembang mulai zaman neohithik ± 2500 SM dan melanjut pada zaman perunggu ± 500 SM. Untuk tempat pemujaanarwah nenek moyang pada ‘nasa mi didirikanlah bangunan teras piramid dan menhir, sedangkan untuk pengekalan jasmaniahnya dibuatkan peti kubur batu yang disebut sarkofagus. Bukti-bukt peninggalan arkeologi mi banyak diketemukan di Bali terutarna di desa-desa pegunungan seperti Desa Selulung di Kintamani, desa Sembirari, Tenganan Pagringsingan dan Iain-lainnya.

Setelab kebuclayaan Hindu mempengaruhi Indonesia, maka terjadilah perpaduan konsepsi keagarnaan yaitu pemujaan roh suci leluhur yang disebut Bhatara unsur ash Indonesia atau Bali dan pemujaan Dewa pengaruh dan India. Akhirnya kedua konsepsi keagamaan mi berdampingan satu dengan yang lainnya. Hal mi jelas nampak pada pura-pura di Bali di mana terdapat tempat pemujaan untuk Hyang Widhi yang disebut Padmasana dan tempat pemujaan untuk Bhatara yang disebut : Sanggah Kemulan, Gedong Pejenengan dan Meru Padharman.


BAB II
PENGERTIAN, HISTORIS, FUNGSI KAHYANGAN TIGA

  1. Pengertian
Secara etimologi kata Kahyangan Tiga terdiri dan dua kata yaitu kahyangan dan tiga. Kahyangan berasal dan kata hyang yang berarti suci mendapat awalan ka dan akhiran an,an menunjukkan tempat dan tiga artinya tiga. Arti selengkapnya adalah tiga buah tempat suci, yaltu Pura Desa atau disebut pula Pura Bale Agung, Pura Puseh dan yang ketiga adalah Pura Dalem.

Kahyangan Tiga terdapat pada setiap desa Adat di Bali. Apabila jumlah desa Adat di Bali 1456 buah, maka jumlah Pura Kahyangan Tiga akan menjadi tiga kahi jumlah desa Adat sehingga menjadi 4368 buah pura. Pada beberapa desa adat di Bali kadangkala penempatan Pura Puseh digabungkan dengan Pura Desa sehingga nampak kelihatan menjadi satu pura tetapi sebetulnya adalah tetap dua buah pura.
Desa adat sebagai lembaga sosial tradisional adalah pengelompokan sosial berdasarkan kesatüan tentorial ditandai mereka bertempat tinggal dalam wilayah yang sama, mempunyai tugas dalam kegiatan gotong royong dan melaksanakan tugas pasuka-dukaan. Pengelompokan yang lain berdasarkan geneologis seperti apa yang disebut tunggal ka witan, tunggah sanggah, pengelompokan sosial yang disebut sisya yang didasarkan atas siapa yang dijadikan pimpinan di dalam suatu upacara keagamaan. Lembaga sosial tradisional yang lain adalah subak (kesatuan petani yang sawahnya menerima air dati satu sumber irigasi yang sama), dan Sekaha (kesatuan sukarela). Keseluruhan lembaga tradisional tadi sangat fungsional bagi upaya preservasi dan transformasi kebudayaan Bali yang dibangun atas dasar landasan konsepsi tn hita karana (tiga penyebab kesejahteraan hidup) yaitu parhyangan = tempat pemu)aan, pawongan = manusia, dan pelemahan = wilayah.

Kahyangan Tiga merupakan salah satu unsurdari tnhita karana yaitu unsur parhyangan dan setiap desa adat di Bali. Pada KahyanganTiga masyarakat desa memohon keselama tan dan kesejahteraan untuk desa dan masyarakatnya. Unsuryang ke dua dan tiga dan Tn hita karana discbut dengan pelemahan dan pawongan. Dengan demikian maka di dalam mewujudkan rasa aman, tenteram, sejahtera lahir batin dalam kehidupan desa adat berlandaskan tiga hubungan harmonis yaitu hubungan manusia dengan alam atau hubungan krama desa dengan wilayah desa adat, hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dalam desa adat dan hubungan krama desa dengan Hyang Widhi sebagai pelindung. Inilah yang dinamakan tn hita karana dalam desa adat di Bali.
Dengan tercakupnya unsur ke Tuhanan dalam kehidupan desa adat di Bali, maka desa adat di Bali mencakup pula pengertian sosio-religious. Maka dan itu implikasi antara adat dengan agama Hindu di Bali adalah erat sekali sehingga sulit memisahkan secara tegas unsurunsur adat dengan unsur agama, karena adat-istiadat di Bali dipencari oleh agama Hindu dan aktivitas agama Hindu didukung oleh adat istiadat di masyarakat.

  1. Sejarah.
Membicarakan masalah sejarah pendinian Kahyangan Tiga pada setiap desa adat di Bali, belum diketahui dengan pasti, karena sumber tertulis yang menycbutkan secara jelas belum diketemukan. Tetapi kemungkinan sekali pada zaman Bali Kuno ketiga pura tersebut telah ada di tengah-tengah masyarakat Bali karena dipakai kata Kahyangan untuk menyebut pura tersebut. Di dalam prasasti-prasasti Bali Kuna belum diketemukan kata Pura untuk rnenyebut tempat suci tetapi yang dipakai adalah kata hyang atau kahyangan.

Sebelum masa pemenintahan raja suami-istni Udayana dan Gunapriyadharmapatni tahun 989-1011 M .di Bali berkembang banyak sekta-sekta keagamaan sepenti : Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Boddha, Brahmana, Rsi, Sora, Canapatya dan Siwa Siddhanta. Di antara penasehat pemenintahan Udayana, tersebut nama Senapati Kuturandi samping sebagai ketua Majelis Pusat Pemerintahan yang disebut “Pakiran-kiran ijro makabehan”.

Empu Kuturan sebagai seorang senapati dan ahli dalam masalah keagamaafl berhasil dalam menanamkan pengertian dibidang keagamaan dan menyempurnakan sistem kemasyarakatan di Bali. Dalam karangannya Purana Tattwa, Dewa Tattwa, Widisastra, memberjl(an pelajaran tentang sejarah para Pendeta, Dewa-dewa dan bagaimana Caranva memuja Dewa-dewa, dan caranya membangun pura dengan pedagingannya. Seorang Sarjana Belanda yang lama tinggal di Bali yakni Dr. R. Cons mengatakan kecerdasan Empu Kuturan sebagai seorang filosof besar dan negarawan yang bijaksana.
Dalam lontar Raja Purana menyebutkan usaha Empu Kuturan untuk membangun tempat-tempat SUCI beserta upacaranya sebagai berikut:
Ngaran Dewa ring kahyangan pewangunan Empu Kutu ran kapastikan saking Pura Silayukti, rnuwang ngcwangun seraya karya, ngadegang raja purana, muang nangun karya ngenteg linggih bhatara ring Bali, kaprafeka antuk sira Empu Kuturan, Ngeraris nangun catur agama, catur lokika bhasa, cttur gila, mekadi ngewangun Sanggah K.arnulan, ngewangun Kahyangan Tiga, Pura De.ca, Pusch rnuang Dalern.

Terjcmahan:
Adapun Dewa di Kahyangan diciptakan atau dibangun oleh Empu Kuturan, direncanakan dan Pura Silayukti dan menyelenggarakan segala pekerjaan sehubungan dengan pembangunan pura-pura kahyangan jagat, demikian pula mengadakan pemelaspasan dan mengisi pedagingan linggih bhatara-bhatarj di Bali diatur oleh Empu Kuturan. Selanjutnya dibuat peraturan agama,empat cara-cara berbahasa, empat ajaral pokok dalam kesusilaan dan lima tattwa agama, seperti mengajar membuat sanggah Kemulai-Kahyangan Tiga, Pura Desa, Puseh dan Dalem.

Sehubungan dengan pembangunan tempat-tempat suci, oieh Empu Kuturan, babad Gajah Mada menyebutkan sebagai berikut:
Sira ta Empu Kuturan sang sida moksah ring Silayukti sira La umara marahing tumilahing Bali Aga, sira nggawe paryangan pengastawan kabuyutan, ibu, dad ía. ring Bali Aga kabeh,a pan Baligungguna sucaya.

Terjemahan:
Beliau Empu Kuturan yang nioksa di Silayukti, dia yang mengajarkan membuat pemujaan di Bali, termasuk tempat suci pemujaan untuk roh suci leluhur paibon/dadya, sehingga Bali menjadi jaya dan sejahtera.

Adanya banyak sekta-sekta di Bali menimbulkan perbedaan kepercayaan di masyarakat sehingga sering menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat di antara sekta yang satu dengan yang lainnya. Akibat adanya pertentangan mi membawa pengarub buruk terhadap jalannya roda pemerintahan kerajaan dan mengganggu kehidupan masyarakat.

Meriyadari keadaan yang demikian itu maka raja Udayana menugaskan Empu Kuturan untuk mengadakan pesamuhan (pertemuan) para tokoh-tokoh agama di Bah. Pesamuan para tokoh agama itu bertempat di Desa Bedaulu Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar.

Pertemuan para tokoh-tokoh agama dan berbagai sekta yang ada di Bali berhasil menetapkan dasar keagamaan yang disebut Tn Murti yang berarti tiga perwujudan dan Hyang Widhi yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Tempat pesamuan yang menghasilkan dasar keagamaan Tn Murti disebut Samuan Tiga di mana sekarangberdmn Pura SamuanTiga di Desa Bedaulu. Pada pura mi tersimpan banyak peninggalan purbakala seperti lingga, ArcaGanesa, Arca Durga, arca perwujudan bhatara-bhatari.

Tiga kekuatan di aLas yang merupakan prabawa Hyang Widhi dapat dirasakan dan dialami dalam kehidupan di dunia mi sebagai suatu siklusyaitu : lahir, hidup dan mati. Demikian seterusnya berputar sebagai suatu lingkaran yang tiada terputus sepanjang zaman, karena ia kodrat alam dan hukum Tuhan. Ketiga kodrat alam mi disebut tn kona (segi tiga).

Kesaktiari untuk menciptakan (Utpati), kesaktian untuk memelihara (stiti) dan kesaktian untuk TTlengembalikan kepada asalnya (pralip.a) merupakan tiga silat yang absolut dan diwujudkan dengan dewa Tn Murti. Di dabm Weda. Tn Murti berarti tiga Dewa yaitu : Dewa Brahma, Wisnu dan Jswara (Siwa), yang diwujudkan dengan aksara Ang melambangkan Dewa Brahma dengan warna merah dan senjata Gada. Aksara Un melambangkan Dewa Wisnu dengan warna hitam dan senjata Cakra, dan aksara Mang melambangkan Dewa Siwa dengan warna putih dan senjatar.ya Padma.

Ketiga aksara Arig Ung Mang jika disatukan menjadi A U M. Dalam persenyawaan suara huruf A dan U disandikan menjadi 0 sehingga AUM menjadi Om, yaitu lambang aksara Hyang Widhi.

Dan uraian tersebut di atas dapat diperkirakan bahwa Kahyangar. Tiga pada setiap L)esa Adat di Bali dirintis oleh Mpu Kuturan ketika pemenintahan raja suami istri Udayana dan Gunapriyadharmapatni pada abad 10 M. Pcrkiraan mi diperkuat dengan adanya ungkapan dalam babad Pasek yang menyebutkan demikian:
Nguni duk peinadegan sira çri Gunapriyadharmapafni/udayana Warmadewa, hana pesarnuan agung çiwa Budha kalawan Bali Aga, ya ctunya hana desa pakraman mwang Kahyangan Tiça maka krarnan ikang desa para desa Bali Aga.

Tcrjernahan.
Dahulu tatkala bertahtanya çri Gunapriya dharmapatni dan suaminya Udayana, ada musyawarah besar çiwa l3udha dengan pihak Bali Aga, itulah asal mulanya ada desa pekraman dan Kahyangan Iga selagai tatanan kehidupan dan masing-masing desa Bali Aga.

Dan uraia di atasdapat diduga bahwa pengelompokan masyarakat ketika itu disebut dcsa pakraman dan dalam perkembangannya mengalami perubahan yang akhirnya disebut desa adat yang dilengkapi dengan peraturafleraturafl yang disebut Awig-awig: Awig-awig mempunyaj kedudukan sebagai stabilisator yang mengatur kegiatan dan aspek kehidupan masyarakat. Tujuannya ialah agar suasana kehidupan desa menjadi tetap terpelihara secara serasi dan harmonis dengan ketertiban yang mantap.

Keserasian dan keharmonisan kehidupan masyarakat dapat diukur dengan sistem cara berpikir yang luas dan tidak mengadakan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Dengan cara berpikir yang demikian itu akan melahirkan suasana senasib sepenanggungan yang cbih dikenal dengan istilah suka duka scbagai salah satu warisan budaya yang tak ternilai harganya.

  1. Fungsi
Untuk lebih memantapkan dan memasyarakatkan konsepsi Tn Murti yang tclah disepakati sebagai dasar keagamaan di Bali, maka pada setiap desa adat didirikan Kahyangan tiga. Ketiga Kahyangan tersebut adalah:
  1. Pura Desa, tempat pemujaan Dewa Brahma dalam fungsinya sebagai pencipta alam semesta.
  2. Pura Puseh, tempat pemujaan Dewa Wisnu dalam fungsinya sebagai pemelihara.
  3. Pura Dalem, tempat memuja Dewa Siwa dalam wujud Dewi Durga dengan fungsi sebagai pamralina alam semesta.

Di samping Pura Kahyangan Tiga yang dimiliki oleh tiap-tiap desa, maka setiap pekarangan rumah orang Bali yang beragama Hindu didirikan tempat beribadat yang disebut “Sanggah” atau ‘Pamrajan”. Perkataan Sanggah berasal dan sanggar yang berarti tempat suci, karena perubahan huruf dan r menjadi h maka menjadi Sanggah.Secara etirnologis adalah berasal dati kata sa dan angga (sa-berarti satu dan angga berarti badan). Jadi berarti satu badan atau penunggalan suksma sarira dengan stiila sarira atau penunggalan rohani dan jasmani untuk dapat memusatkan pikiran kehadapan Hyang Widhi,rnelalui roh sucileluhur. Sedangkan kata Pamraan berasal dan kata pa yang menunjukkan
——tempat dan mara berarti dekat dan jadan kata ati,yang berarttlahir Jadi arti dan pamrajan adalah tempat mendekatkandiri pada asal kelahiran.

Bangunan suci di Sanggah yang berfungs untuk pemujaan roh suci ieluhur adalah Kamulan. Secara etimologis kata kamulan berasal dan kata mula yang berarti asal dan mendapat awalan ka dan akhjran an yang menunjukkan tempat, sehingga berarti tempat asal yaitu Jeluhur.
Bentuknya adalah sebagai gedong tetapi di dalamnya dibagi aLas tiga ruang yaitu ruang tengah, ruang samping kanan dan ruang samping kin. Mengenai fungsi masing-masing ruang adalah sebagai berikut: ruang samping kanan adalah pemu)aan untuk purusa atau bapanta dan Samping kin untuk pradana atau ibunta dan di tengah adalah untuk raganta atau Siwatma. Pertemuan antara purusa dan predar.a menghasilkan ciptaan di mana di dalamnya terdapat unsur kekuatan yang disebut atma.

Pelaksanaan puja di Sanggah Kamulan disebut : Guru Stawa, dan dijelaskan pup-pujian kepada roh suci, atau disebut guru rupaka. Di sini akan dikutipkan mantramnya sebagai berikut:
  1. Om dewa-dewa fri devanam, fri murti linggatmanam fri purusa sudha-nityam, sarvajagaf jiwatmanam.
  2. Om guru dewa, guru rupam, guru padyam, guru purvam, guru pan tararn devam, guru dewa suddha nityam.

Terjemahan bebasnya:
  1. Ya Tuhan, para dewa dan tiga dewa, tn murti tiga perwu;udan simbul Siwa, paramasiwa, Sadasjwa dan Siwa, suci selalu, nyawa dati alam semesta.
  2. Ya Tuhan, gurunya dan Dewa, Gurunya bhatara-bhatan Junjungan guru permulaan, guru perantara dewa-dewa, gurunya dewa yang selarnanya suci.

Konsepsi Tn Murti nampak pula tercermin di Pura Besakih sebagai Pura Sad Kahyangan Bali. Di sini jelas nampak kehadiran tiga buah pura yang besar yang penempatannya berjajar tiga dan Utara ke
-‘datan. Pura yang paling selatan ada]ah Pura Kiduling Kreteg, sebagai Stana Dewa Brahma. Pura Penataran Agung terletak di tengah stana
wa Siwa dengan tiga kemahakuasaan yang disebut tripurusa yaitu
Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa dan Pura Batumadeg di sebelah Utara sebagai stana Dewa Wisnu. Stana pemujaan Dewa Siwa di Penataran Agung berbentuk Padma Tiga dan stana pemujaan Dewa Brabma dan Dewa Wisnu berbentuk Meru bertingkat sebelas. Apabila ketiga pura tersebut di atas; pura Kid uling Kreteg, penataran Agung dan Batu Madeg ditambah dengan dua buah pura lagi yaitu Pura Gelap dan Pura Ulun Kulkul masing-masing sebagai penjaga arah mata angin Timurdan Barat maka lengkaplah penerapan konsep Catur Lokapala. Pura Gelap tempat rncmuja Dewa lswara dan Pura Uun Kulkul tempat meniuja Dewa Mahadewa.

Kahyangan Tiga yang merupakan unsur parhyangan dan Tn Hita Karana, penempatannya pada desa adat diatur sebagai benikut:
Pura Desa biasanya dibangun di tengah-tengah pada salah satu sudut dan Catur pata atau perempatan agung. Pada sudut yang lain terdapat bale wantilan (bale desa) rumah pejabat desa, pasar dengan Pura Melanting. Pura Puseh dibangun pada bagian arah selatan dani desa yang mengarah ke pantai karena itu Pura Puseh sening disebut Pura Segara di Bali Utara. Pura Dalem dibangun mengarah ke arah barat daya dan desa karena arah barat daya adalah arah mata angin yang dikuasai oleh Dewa Rudra yaitu aspek Siwa yang berfungsi mempralina segala yang hidup.

BAB Ill
DENAH DAN NAMA-NAMA BANGUNAN DART KAHYANGAN TIGA

  1. Pura Desa
Pura mi disebut dengan nama Pura Desa karena pura mi lazirn ditempatkan di pusat desa yaitu pada salah satu sudut dani catus pata (perempatan agung). Catus merupakan perubahan ucapan dan kata catur artinya tempat. Perubahan wianjana r menjadi s memang sering terjadi seperti dursila menjadi dussila menjadi susila, nirkala menjadi niskala dan lain-lain. Pata merupakan perubahan ucapan dan kata pada yang berarti dunia/alam. Dengan demikian catus pata adalah daerah bertemunya pengaruh yang datang dan empat buah alam yang ada di sekitar dunia mi (Timur, Sclatan Barat dan Utara). Wujud konkritnya sebuah catus pata adalah jalan simpang empat atau perempatan.
Masyarakat tradisional Bali sclaku kelompok masyarakatbuda ya dalam mengatur desa sclaku daerah pemukiman dengan kelengkapannva seperti pura, bale banjar, pasar, rumah, jalan, diatur dalam satu tata ruang. Filose(15 pengaturan tata ruang tadi berdasarkan konsep catus pata dan luan teben, misalnya : pasar, wantilan, Pura Desa, rumah pembesar desa ditempatkan pada Sudut-udut dan catus pata.

Pura Desa menjadi tempat pusat kegiatan pelaksanaan upacara untuk kepentingan desa seperti upacara Ngusabha Dcsa, pesamuan bhatara setelah upacara melis yang dilaksanakan sebelum upacara Penyepian. Pada beberapa daerah di Bali, Pura Desa disebut pula dengan nanu l>ura Bale Agung. Nama kemungkinan diambil dari ñàma bangunan Bl Agung yang terdapat pada bagian halaman pertama dan pura tersebut.

Pura Desa nwmpunyai denah yang terbagi atas tiga bagian, tetapi lehih tirnurn denah pent.lma dan kedua d’igábung menjadi satu, seh,ni ripk r rrp nyu dna dcnah vaitu : Jaha sisi (halarnan
pertanta) dan jaba jeroan (halarnan kedua). Kedua halaman dikelilin dengan tembok dengan pintu masuk yang disebut candi bentar dan kc agung. Masing-masing halaman tersebut disertai dengan banguna bangunan dengan fungsi yangberbeda-beda. Mengenai jumlah banu an-bangunan yang ada di halaman pertama dan kedua dan Pura
adalah berbeda-beda, tetapi pada tulisan mi dikemukakan bangunar bangunan pokok yang harus ada pada setiap pura Kahyangan Tigm Scbagai pedoman pendirian bangunan tersebut diambil dan hasil scm nar kesatuan tafsir aspek-aspek agama Hindu yang pertama yang di lenggarakan di Amlapura pada tahun 1974.
Bangunan-bangunan minimal yang ada pada halaman pertan adalah sebagai berikut:
  1. Candi Bentar.
Bentuknya belah dua yang berIungsi untuk pintu masuk ke halaman pertama dan pura. Untuk memasuki halaman kedua (jeroan pura) melalui candi kurung atau koni agung dengan berbagai macair bentuk vaniasi dan hiasannya.
  1. Bale Kulkul.
Lctaknya di sudut depan dan halaman pertama. Bentuk bangunannya dibuat tinggi sebagai menara dengan kulkul atau kentongan yang berga ntung di atasnya. Fungsi dan kentongan berkaitan dengan pclaksanaan upacara seperti ketika nedunangbhatara dan ketika nyimpen. Fungsi yang lain adalah sebagai tanda bahwa pertemuan antara krama pura akan segera dimulai yang membicarakan berbagai masalah tentang pura seperti : persiapan piodalan, rencana perbaikan pura dan lain-lainnya.
  1. Bale Agung.
Bangunan berbentuk bale panjang dengan dasar bangunannya yang agak tinggi dan atapnya disangga beberapa buah tiang. Bangunan mi bcrfungsisebagai tempat pesamuan (pertemuan) para bnatara ketika berlangsung upacara Ngusabha dan setelah upacara mekiis (upacara
—. penyucian pratima dan batara).
  1. Bale Gong.
l3angunan mi berfungsi sebagai tempat gambelan, yang ditabuh ketika upacara piodalan berlangsung untuk menunang jalannya upacara di pura.
Bangunan yang terdapat pada halaman kedua (jeroan) dan Pura Desa adalah:
Sanggar Agung.
Bangunan mi disebut pula dengan nama Sanggar Surya. Penempatannya pada bagianarah hulu dan denah jeroanpura. Bangunan mi pada bagian atas terbuka, yang berfungsi sebagai stana Hyang Raditya/Hyang Widhi.
  1. Gedong Agung.
Bangunannya berbentukgegedongan yangdi bagi atas tiga bagian yaitu, dasar gedong, badan gedong derigan tembok keliling pada keempat sisi, sehingga pada badan gedong benbentuk sebuah ruangan. Ruangan dapat dicapai melalui pintu pada bagman sisi depan dan gedong. Bagian atap dan gedong dibuat bersusun dengan atap dan daun ijuk. Bangunan berfungsi sebagal stana Dewa Brahma, dalam wujud pratima dan tidak memakai laksana (dii) Dewa Brahma sebagai lazimnya dalam seni arca.

Dalam seni arca Dewa Brahma biasanya digambarkan, berkepaIa empat yang rnenghadap ke semua arah mata angin, bertangan empat yang masing-rnasing memegang tasbih, cemara, kendi dan buah yang berbentuk bulat. Sakti dan Dewa Brahma bernama Dewi Saraswati dengan wahana angsa.
Ratu Ketut Petun Bangunan berbentuk gedong bedungsi sebagai tempat pepatih atau pendarnping dan Dewa yang berstana di pura tersebut
Ratu Ngeruraji., bargunan dibuat berbentuk tugu yang berfungsi sebagai penjaga dan bertanggung jawab atas keamanan ciani pura.

  1. Pura Puseb.
Kata Puseh adalah berasal dan kata puser yang berarti pusat Kata pusat di sini mengandung makna sebagai pusatnya kesejahteraa dunia yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi urn manusia, sehingga upacara-upacara yang berhubungan dengan kest buran dunia dilaksanakan di Puseb.
Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara dati ciptaan Hyapg Widhi dalam seni arca digambarkan dengan laksana atau ciri bertangan empat yang masing-masing meniegang, cakra, sangka dan buah atau kuncup teratai.

Vahana adalah Garuda, sedangkan saktinya adalah Sn atau Laksmi (Dewi Kebahagiaan).
Mengenai denah dan Pura Puseh dapat dibagi atas dua bagian sebagaimana denah dan Pura Desa. Pembagian atasdua bagian tersebut adalah : halaman pertama atau disebut dengan jabaan dan pura dan halaman kedua disebut jeroan dan pura. Pada halaman pertama terdapat beberapa buah bangunan, seperti candi bentar, bale kulkul, pawaregan, bale gong, apit lawang dan candi kurung. Mengenai fungsi dan bangunan-bangunan tersebut di atas adalah sama dengan bangunanbangunan yang terdapat pada halaman pertama dan Pura Desa.
Pada halaman kedua atau jeroan pura terdapat pula beberapa buah bangunan dengan fungsinya masing-masing seperti:
  1. Sanggar Agung:
Bangunan suci mi pada bagian puncaknya terbuka yang berfungsi sebagai tempat memuja Hyang Raditya/Hyang Widhi Wasa. Pada bagian purjcaknya dibuat terbuka. karena Hyang Widhi tidak terbatas, memenuhi alam semesta.
  1. Meru Tumpang Lima atau Tujuh atau Sebelas.
Bangunan meru mi berfungsi sebagai stana Dewa Wisnu yang _.ipuja di Puseh. D1 sini menjadi tanda tanya kenapa meru. dipakai
sebagai stana Dewa Wisnu dan kenapa tidak Gedong sebagai di Pura
Desa dan Dalem. Mengeflai hal mi belum diketahui dengan pasti tetapi kemungkinafl karena Meru adalah lambang gunung yaitu Gunung Mahameru sebagai stana para Dewa. Gunung dengan hutamiya adalah merupakan sumber mata air yang nantinya mengalir menjadi sungaisungai. Air inilah yang memberikan kesejahteraan atau amerta kepada umat manusia.
  1. Ratu Made Jelawung.
Bangunannya berbentuk gedong, berfungsi sebagai tempat pepatih (pendamping) dan Dewa yang berstana di Meru.
  1. Sedahan Pengrurah.
Bangunan mi berbentuk tugu dengan fungsi sebagai penjaga keselamatan dan keamanan dan pura.
  1. Gedong Pertiwi.
Bangunan mi berfungsi sebagal stana dan Thu Pertiwi.
  1. Batur Sari.
Bangunan mi berfungsi sebagai stana dan Dewi Danuh yang
berkai tan denga n ksuburan

  1. Pura Dalem
Katadalcmsecaraharuiahbcrarti )auh atau sulitdicapai. Discbut demikian karena dalam kenyataannya Dewa Siwa adalah sulit dicapai oleh manusia karena beliau adalah niskala, wyapi-wyapaka. Sakti dan [)cwa Siwa adalah Dewi Durga, di mana kata Durga berarti jangan mendekat, scbagai wujud kroda dan Dewa Siwa yang bcrfungsi mapralina alam ciptaan Tuhan.
Dalam seni arca Siwa diwujudkan dalam berbagai-bagai bentuk.
Qsuai dengan fungsi yang dijalankan. Siwa sebagam Mahadewa, Siwa schagai Maha Guru Siwa sebagai Mahakala dan saktinya adalah Dewi Durga.

Siwa sebagai Mahadewa laksana atau cirinya adalah ardhacandrakapala yaitu bulan sabit di bawah sebuah tcngkorak, yang terdapatkan pada mahkota, mata ketiga di dahi, upawita ular naga, tarigannya empat masing-masing memegang cemara, aksamala kamandalu dan trisula.
Siwa scbagai guru atau di Bali disebut Bhatara Guru Iaksananya adalah kemandalu, Trisula, perutnya gendut berkumjs dan berjanggut panjang. Sedangkan sebagai Mahakala rupanya menakutican seperti:
raksasa, bersenjatakan gada.

Durga sebagai saktinya Siwa dilukiskan sebagai Mahisasuramardini mi. Ia berdiri di atas scekor lembu yang ditaklukkan. Lembu mi adalah penjelmaan raksasa (asura) yang menyerang Kahyangan dan dibasmi oleh Durga, Durga digambarkan bertangan 8,lOatau 12, masingmasing tangannya memegang senjata.
Arca Durga yang terkenal dan Bali adalah Durgamahisasuram.ardini dan Pura Bukit Dharma Desa kutri Gianyar. Arca mi adalah arca perwujudan dan Gunapriyadharmapatnj Ibunda dan Airlangga. Laksana dan arca mi adalah bertangan delapan tetapi yang tinggal utuh hanya enam buah, tangan kanan masing-sing memegang cakra, anak panah, kapak, sedang tangan kirinya masing - masing memegang kerang bersayap, busur dan tameng.

Putra dan Dewa Siwa adalah Ganesa yang digambark.an berkepala gajah dengan empat buah tangan, yang masing-masing memegang mangkok, pecahan taring, aksamala dan kapak. Ganesa disembah sebagat Dewa penyelamat dati segala rintangan dan juga sebagai Dewa Ilmu Pengetah
Mengenai Denah dan Pura Dalem pada garis besamya dapat dibagi alas dua bagian yaitu : Jabaan (halaman pertama) dan Jeroan (halaman kedua). Masing-masing halaman tersebut disertai dengan bangunan-bangunan dengan fungsinya masing-masing. Bangunanbangunan yang didirikan di halaman pertama adalah hampir sama dengan bangunan-bangunan yang ada di Pura Desa. Perbedaannya di halaman pertama Pura Dalem tidak terdapat Bale Agung. Beberapa bangunan di halaman pertama adalah candi bentar, bale kulkul, bale gong, pwargan, apit lawang, candi kurung (paduraksa).
Pada halaman kedua yang merupakan halaman yang tersuci, terdapat beberapa jenis bangunan dengan fungsinya masing-rnasing, seperti:
  1. Sanggar Agung.
Bangunan suci mi ditempatkan pada bagian arah Timur Laut (kaja kangin) dan denah halaman kedua. Bangunan mi berfungsi sebagai tempat pemujaan Hyang Raditya (Tuhan Yang Mahaesa).

  1. Gedong Agung.
Bangunan mi berbentuk gegedongan dengan memakai atapdan ijuk. Pada bagian badan dan gedong terdapat ruangan yang berfungsi sebagai tempat pratima (Arca) dan Dewa. Gedong Agung berfungsi sebagai tempat pemujaan DewaSiwa dalam wujud sebagal Dewa Durga yaitu sakti dan Dewa Siwa.

  1. Ratu Ketut Petung.
Bangunannya berbentuk gedong tetapi ukurannya Jebih kecil dan gedong bata. Bangunan mi mempunyai fungsi sebagai tempat dan pepatih (pendamping) dan Dewa.

  1. Ratu Ngerurah.
Bangunannya berbentuk tugu, hanya bagian atas terbuat dan konstruksi batu padas, sedangkan kalau gedong bagian kepala dan bangunan terbuat dan konstruksi kayu dengan atap alang-alang atan ijuk. Bangunan berfungsi sebagai penjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dan pura.

  1. Upacara.
Pura yang termasuk kelompok Kahyangan Tiga, masing-ma sing mcmpunyai han piodalan (han ulang tahun) tersendin. Han ulang tahun dan suatu pura dltcntukan melalui han diresrnikan pura tersebut. Han peresmian biasanya dipilih han yang balk sesuai dengan petunjuk dan pendeta dan selanjutnya ditetapkan scbagai ban piodalan. Kata piodaan adaah berasal dan kata wedal yang artinya lahir mendapat awalan pa dan akhiran an yang beranti tcrnpat lahir atau kelahiran.

Waktu pclaksanaan han piodalan pada tiap-tiap pura berbedabeda, ada setiap enam bulan atau 210 han, tetapi ada pula yang dilaksanakan setiap tahun. Upacara piodalan dan pura digolongkan pada upacara dewa yadnya yang merupakan salah satu dan lima jenis upacara atau Panca Yadnya. Yadnya berasal dan kata jaj yangarbnya sembahyang. Dan akar kata mi lalu menjadi kata yadnya yang berarti persembahan kepada Hyang Widhi dan manifestasinya.

Pelaksanaan upacara di Pura Kahyangan Tiga dilakukan secara berkala pada han-han tertentu, seperti upacara tiap bulan sekali yang disebut rerainan yang jatuh haninya sesuai dengan han piodalan dan juga setiap han Pumama dan Tilem. Upacara yang diadakan berkala setiap 210 han disebut han piodalan dengan upacara yang lcbih besar dan rerainan. Jenis upacara berkaki yang lebih besar adalah karya ngusaba, karya mamungkah dan lain-lainnya.

Pada umumnya tiap-tiap pura Kahyangan Tiga mempunyai kekayaankhususyangdisehutlaba puraatau kalau diJawa pada zaman Hindu discbut tanah perdikan dan suatu Candi. Laba Pura hiasanya dalam bcntuk tanah yang luasnya tergantung pada kem.ampuan dan desa adat. Hasil dan pcnggarapan tanah dimanfaatkan untuk kepentingan hiaya upacara rerainan, piodalan dan Juga untuk hiava memperbaiki kerusakan dan hangunan-bangunan yang ada di dalam pura. Kelon’.pok orang yang bcrtanggung jawab atas pcnyelenggaraan suatu pura disebut Krama pura.

Untuk menunjukkan rasa haktinya kepada Hyamz Widhi dan Bhatara Bhatari, kctika upacara piodalan masyarakat rnenghaturkan csajcn yang discbut banten piodalan dan banten perseorangan dan anggauta krama pura. Banten piodalan dapat dibedakan aLas beberapa (nIs seperti banten sor, catur dan lainnya. Jenis bebanten mana yang akafl dilaksanakan tergantung pada kemampuan dan para krama pura. Scialo menghaturkan sesajen ketika upacara piodalan bertangsung, dimnngi pula dengan gamelan dan tani - tarian cuci keagamaan. Jenis tanian yang dipentaskan adalah; tan sangyang, pendet, berbagai jenis bans. Tujuan dan pementasan tanan mi adalah untuk menyambut kcdataflgafl kekuatan suci di mana pada saat masyarakat akan mengadakan kontakdan mohonkesciamatanbagi warganya. Karena itu scning dikatakan, munculnya jenis-jenis tarian di Bali pada mulanya adalah diabdikm untuk kepentingan agama dan baru kcmudian berkcmbang menjadi seni kemasyarakatan yang ditandai munculnya kreasi-kneasi baru dalarn seni tan di Bali.

Upacara piodalan dan jenis-jenis upacara berkala di Pura Kahyangan Tiga diantarkan olch scorang
Pendeta tetapi upacara kecil yang disebut rerainan diantarkan (disciesaikan) oleh seorang pemangku dan pura itu scndiri. Untuk desa-desa kuna upacara diselesaikan olch seorang jero gede atau scmacam pemangku. Ketika pendeta memuja, para krama pura sudah siap clihalaman dalam untuk melaksanakan pemujaan. Setelah selesai mernuja maka pendeta menuntun jalannya persembahyangan hingga selesal.

Pemakaian puja atau stawa oleh pendeta pada masing-masing pura dan Kahyangan Tiga adalah berbeda-beda seperti di Pura Desa rnemakai puja Brahma stawa, di Pura Puseh memakai Wisnu Stava dan di Pura Dalem mempergunakan Durga Stawa. Sebagai contoh dikutipkan Brahma stava sebagai benkut:
Om Ang Brahrna namas ca.r-mukham Brahmagni rakia-varnan ca shpatika
varna dewafa, sarva bhusana
rakfakam.
Danda aLsfra maha tjksrza, atma -
raksa nabhi-sthana, adwageni
surya sphafika, sarva satru pinasanani.

Terjemahan
Hyang Widhi Ang Dewa Brahma yang mulia, mempunyai empat muka, brahma adalah Agni, dengan warna merah, Dewa yang berwarna berkiiauan, mempunyal hiasan serba merah. Mempunyai scnjata bernama gada yang amat sakti, menjaga atma yang berada d nabi, awal dan api, surya dengan cahaya berkilauan menghancurkan semua musuh-musuh.

Untuk pemujaan kepada Dewa Wisnu di Pura Puseh, pendeta mempergunakan Wisnu stava, kutipannya sebagai berikut:
Oin Ung namo Wisnu fri mukhanam, trinayanam Catur-bhujam, krsna varnam sphatikantam, sarva bhusana kresnam,
Cakra astra mahatiksnam, atma raksam ampru St ha nam, amrtah jivano dcvah, sarva satru vinasanam.

Terjemahan
Hyang Widhi Ung Dewa Wisnu, tiga muka, tiga mata dan empat tangan, warna hitam yang berkilauan, semua hiasan hitam. Senjata cakra yang amat tajam, melindungi atma, yang tinggal dihati,dewa mcmbcrikan kehidupan, semua musuh dihancurkan.

Puja atau stava yang dipergunakan oleh pendeta di Pura Dalem disebut Durga stava dan di sini akan disampaikan kutipannya sebagai berikut:
  1. Om Gin - putri deva-devi, Iokasraya mahadewi Uma Gangga Saraswati Gayatri Vaisnawi Dewi.
  2. Catur Divya mahasakti, caturasrana BliatariSiva jagat pati dcvi, Durga Masayrira dewi.
  3. Sarva jagat pranamyanam jagad vighna vimurcanam Durga bhucara moksanam sarva duhka vimoksanam.
  4. Anugraha amerta bhumi vighna dosa vinasanam sarva papa vinasanam sarva pataka nasanam._.._ Om
  5. Deva-devi maha jnanam suddha vighna bhvanesvan sarva jagat pratisthanam sarva devanugrahakam.

Terjemahan
  1. Hyang Widhi Dewa-dewi, Gin Putri yang melindungi dunia Dewi Uma, Gangga, Saraswati, Gayatni, dan sakti Dewa Wisnu.
  2. Empat kekuatan mahasakti dan Bhatani dipuja dalam empat lingkungan hidup Sakti dan Dewa Siwa, penguasa dunia, Durga yang berbadan Dewi.
  3. Dia dihormati oleh seluruh dunia, mcmpunyai kekuatan menghilangkan nintangan dunia Dewi Durga mendatangkan kcselamatan dan gangguan para danawa yang membawa kebehasan dan rintangan dan kesalahan.
  4. Dia memberi karunia, air kehidupan untuk dunia, mcnghancurkan segala nntangan dan dosa-dosa.
  5. Dewi dan Dewa sebagal kcbebasan yang maha besar, Dewi dan dunia yang menghilangkan pcnderitaan. Menolong seluruh dunia, dan menyatu dengan dewa-dewa yang lain serta memberi karunia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar