Kebebasan Pers dalam Bingkai Undang-undang

Maraknya pemberitaan di berbagai media informasi tentang kebebasan pers membuat saya penasaran tentang topik 'kebebasan pers' ini. Saya merasa mereka seperti dewa yang bisa membahas apa saja, membahas tentang sesuatu yang panas bukan sesuatu yang lebih mendidik, karena itu saya mencari batasan-batasan tentang kebebasan mereka, mencari undang-undang yang terkait. Walaupun tidak semua pers melakukan hal yang demikian, namun saya hanya menyindir mereka yang benar-benar tidak mengutamakan kualitas, tidak memperhatikan kode etik jurnalis. Kemudian dari banyaknya hasil yang saya dapatkan dari internet, berikut saya merangkum UU yang terkait dari berbagai sumber hasil googling.

★★★★★★★★★★★★★

UU No.40 tahun 1999 Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Ada empat semangat filosofis yang mendasari lahirnya UU Pers tersebut. 
1, kemerdekaan pers disadari sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 UUD 1945 harus dijamin.
2, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
3, pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
4, pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

UU tersebut telah membuka keran kebebasan bagi pers di Indonesia. Kebebasan itu tidak dimaknai bahwa jurnalis dapat berbuat sewenang-wenang atau kebablasan, melainkan bebas dalam arti dijamin dalam mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi untuk memenuhi hak tahu masyarakat.
Dalam menjalankan tugas itu wartawan harus berdiri di atas rel-rel etik, berupa Kode Etik Jurnalistik 2006 yang disahkan Dewan Pers pada tanggal 14 Maret 2006, sebagai pengganti Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang dikeluarkan Dewan Pers pada tanggal 20 Juni 2000. Bahkan menyadari pentingnya etika ini, selain Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers, sejumlah organisasi wartawan juga mempunyai kode etik sendiri, seperti Kode Etik AJI yang terdiri 18 butir, atau secara internal media massa juga mempunyai kode etik, seperti Kode Etik JPNN. Bahkan, walaupun sudah berlapis-lapis kode etik seperti itu, sejumlah media juga masih membentuk badan lain untuk menjembatani kepentingan pembaca, berupa Ombudsman. /(_fri@journalist.com_ )/
★★★★★★★★★★★★★

Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.

★★★★★★★★★★★★★

Pasal 12 UU Pers hanya mengatur bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab dalam perusahaan pers. Sehingga dapat terjadi bias dalam masalah pertanggung jawaban mengenai penerbitan berita dalam perusahaan pers.

★★★★★★★★★★★★★

Di dalam UU Pers sendiri hanya diatur mengenai sanksi pidana berupa denda jika perusahaan pers melanggar norma susila dan asas praduga tidak bersalah serta masalah pengiklanan yang dilarang oleh undang-undang (Pasal 18 Ayat 2 UU Pers).

★★★★★★★★★★★★★

Perananan pers nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Pers, yaitu: 
1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; 
2. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan; 
3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; 
4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; 
5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

★★★★★★★★★★★★★

Pasal 515 RUU KUHP telah mengakomodasi permasalahan penghinaan maupun fitnah yang dapat terjadi dalam pemberitaan Pers. Untuk masalah penghinaan Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP telah mengatur secara jelas mengenai kriteria tindak pidana penghinaan, yaitu terlihat dari unsur-unsurnya sebagai berikut: 
1. setiap orang; 
2. dengan lisan; 
3. menghina menyerang; 
4. kehormatan atau nama baik orang lain; 
5. menuduhkan suatu hal; 
6. dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.

Untuk Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP tersebut ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-). Sedangkan untuk tindak pidana yang dilakukan secara tertulis diatur dalam Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP, sebagai pemberat tindak pidana terhadap Pasal 511 Ayat (1) RUU KUHP. Pemberatan tersebut akan dikenakan apabila penghinaan tersebut memenuhi unsur-unsur: dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum. Dengan demikian jika tindak pidana penghinaan dilakukan melalui pemberitaan pers telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP. Akan tetapi dalam Pasal 511 Ayat (3) RUU KUHP diatur pula mengenai dasar pembenar untuk melakukan hal-hal yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (1) dan (2) RUU KUHP, yaitu jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. Untuk Pasal 511 Ayat (2) RUU kUHP ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Kategori III (Rp. 30.000.000,-).

Untuk tindak pidana fitnah, hal tersebut diatur dalam Pasal 512 RUU KUHP. Tindak pidana fitnah itu sendiri merupakan pengembangan dari tindak pidana penghinaan baik yang diatur dalam Pasal 511 Ayat (1) maupun Ayat (2) RUU KUHP. Tindak pidana fitnah merupakan tindak pidana penghinaan yang ditambahkan unsur kesempatan bagi pelaku penghinaan untuk membuktikan kebenaran apa yang dituduhkannya, dan jika apa yang dituduhkan oleh si pelaku tersebut tidak terbukti, maka ia telah melakukan tindak pidana fitnah. Apabila tindak pidana fitnah itu dilakukan melalui media pemberitaan pers maka tindak pidana fitnah tersebut akan memenuhi unsur Pasal 511 Ayat (2) RUU KUHP.

Untuk tindak pidana fitnah (Pasal 512 RUU KUHP) ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling sedikit 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Kategori III (Rp. 30.000.000,-) dan paling banyak Kategori IV (Rp.75.000.000,-). Dengan demikian RUU KUHP sendiri di lain sisi juga cukup memberikan perlindungan bagi kebebasan pers, yaitu kesempatan bagi terdakwa pelaku penghinaan atau fitnah untuk membuktikan kebenaran mengenai apa yang dituduhkannya, atau dalam hal penghinaan atau fitnah tersebut dilakukan melalui pemberitaan pers maka wartawan yang melakukan pemberitaan tersebut dapat diberi kesempatan oleh hakim untuk membuktikan kebenaran mengenai pemberitaannya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 512 Ayat (2) RUU KUHP, dimana diatur bahwa pembuktian kebenaran akan tuduhan yang dilakukan tersebut, hanya dapat dilakukan dalam hal: 1. hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri; 2. pegawai negeri dituduh melakukan suatu hal dalam melakukan tugas jabatannya.

Selanjutnya Pasal 513 Ayat (1) RUU KUHP memberikan dasar pemaaf bagi pelaku penghinaan dan fitnah yaitu apabila tuduhan yang dibuat oleh si pelaku tersebut terbukti kebenarannya berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maka, si pelaku tidak dapat dipidana atas fitnah. Hal ini tentu saja berlaku juga terhadap tindak pidana fitnah yang dilakukan melalui pemberitaan pers. Jika pemberitaan pers yang dianggap menghina atau menfitnah itu dapat dibuktikan kebenarannya maka, wartawan yang menjadi terdakwa tidak dapat dipidana atas tuduhan penghinaan atau fitnah. Sebaliknya, jika berdasarkan putusan hakim yang telah berkekekuatan hukum tetap perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak terbukti, maka si terhina atau si terfitnah tersebut dibebaskan dari apa yang dituduhkan, dan putusan tersebut menjadi bukti sempurna bahwa apa yang dituduhkan tersebut tidak benar. Dalam hal ini benar-benar diperlukan hakim atau pengadilan yang betul-betul menghayati dan memahami seluk-beluk penerapan hukum pidana khususnya tentang penghinaan dan fitnah.

Dalam hal terjadi kasus penghinaan atau fitnah, maka proses persidangan terdakwa penghinaan atau fitnah akan ditunda terlebih dahulu jika hakim memutuskan untuk membuktikan kebenaran akan apa yang dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah tersebut (Pasal 513 Ayat 3 RUU KUHP) yang dilakukan baik secara lisan maupun secara tertulis (termasuk media pemberitaan pers). Setelah persidangan masalah pembuktian kebenaran tuduhan tersebut mempunyai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap maka barulah proses persidangan perkara penghinaan atau fitnah dilanjutkan. Hal tersebut dilakukan karena pembuktian akan kebenaran tentang hal yang dituduhkan dalam penghinaan atau fitnah tersebut akan menjadi alat bukti yang sangat menentukan dalam persidangan perkara penghinaan atau fitnah.

Perlu ditekankan juga bahwa tindak pidana penghinaan dan fitnah adalah merupakan delik aduan (Pasal 518 RUU KUHP) karena pelaku tindak pidana penghinaan dan fitnah tidak akan dituntut, jika tidak ada pengaduan dari orang yang berhak mengadu, kecuali jika yang dihina atau difitnah adalah seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah (Pasal 515 RUU KUHP).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar